Sabtu, 29 Maret 2014

Cerita Pendek Kehidupan



KAKAKKU SAYANG
Karya Lifia Setya F

Malam kian larut. Hujan yang sedari sore turun, sekarang hanya menyisakan gerimis gerimis kecil. Aku yang sedari tadi duduk di teras rumah, hanya termenung melihat air air yang tergenang di tanah, dengan memeluk erat jaket pink pemberian dari mama aku sedikit menggigil kedinginan, angin yang menghembus ke tubuhku seolah olah menyuruhku untuk segera masuk ke dalam rumah. Tapi aku masih ingin tetap duduk di sini, karena aku ingin menunggu kak Vian pulang. Sudah hampir jam 10 kak Vian, kakaku belum juga menampakkan batang hidungnya. Aku semakin khawatir, aku takut terjadi apa apa pada kakakku.
Dinginnya malam ini, membuatku teringat masa laluku dengan papa dan mamaku. Masa dimana aku dan kak Vian harus mulai hidup berdua, tanpa ada kedua orangtua. Mereka telah meninggal saat aku masih SMP dan kak Vian masih SMA, karena kecelakaan pesawat.

kasih-adik-kakak.jpg

Setelah 2 tahun papa dan mama meninggalkan kami berdua, kami di asuh oleh kakak perempuan ayah yang baik hati, biasanya kami memanggilnya Budhe Ira. Budhe Ira sudah aku anggap sebagai ibuku sendiri, karena kebaikan hati dan kesabaran dirinya yang mau mengasuh kami berudua. Budhe Ira memang tak punya anak, suaminya telah meninggal 1 tahun yang lalu, mangkannya beliau menganggap kami berdua sebagai anaknya sendiri.

Tapi aku sedikit menyesal atas kepergian papa dan mama, karena setelah mereka pergi, kepedihan di kehidupanku malah semakin bertambah, kak Vian yang dulu masih patuh sama budhe, sekarang sudah mulai berani membentak bentak budhe, akupun juga pernah di bentak. Dan sejak kak Vian mulai masuk kuliah, dia sering pulang malam, dan yang paling parah kak Vian sekarang suka bergabung dengan balapan liar. padahal dulu waktu masih ada mama dan papa, kak Vian tak pernah sedikitpun seperti ini. Apa kak Vian sudah berubah ya? Tapi karena apa?. Pertanyaan itu masih terngiang di pikiranku. Ingin sekali aku bercanda dan bermain main lagi sama kak Vian seperti dulu, tapi sepertinya semua itu tak akan mungkin lagi. Dan hanyalah akan menjadi sebuah mimpi belaka.
“sudah malam nduk, ayo masuk” suara budhe membuyarkan lamunanku
“ehh. Nggak budhe, Dinka masih disini, dinka mau nunggu kak Vian pulang. Sudah malam kok kak Vian belum pulang pulang ya budhe? Dinka khawatir” ucapku
“mungkin kak Vian mu masih kehujanan di jalan Din, sudah, kamu tidur dulu sana, nanti kalau kak Vian sudah pulang, budhe beri tahu kamu” ucap budhe membujukku.
Aku sedikit berfikir, tapi jika aku membantah perkataan budhe, kesannya aku gak sopan sama budhe.
Akhirnya malam ini aku memutuskan untuk tidur.
***

Keesokan harinya pagi pagi sekali aku bergegas mandi. Setelah itu aku langsung menuju dapur untuk membantu budhe memasak.
“selamat pagi budhe!” sapaku ramah
“selamat pagi,”jawab budhe tersenyum
“kak Vian di mana budhe?”aku bertanya pada budhe. Aku melihat budhe yang diam saja tak menjawab pertanyaanku, entah tak mendengar atau sengaja tak di dengar. Aku bingung, apa ada yang salah dengan pertanyaanku?. Aku melihat budhe yang diam melihat ke arahku.
“budhe, ada apa? Kak Vian dimana?” tanyaku lagi membuyarkan lamunan budhe.
“ehmm, kakakmu tadi pagi pagi sekali sudah berangkat nduk.” Jawab budhe sedikit gugup. Ada apa ya?
“oh, kuliah ya budhe?” ucapku sedikit mencibir, aku sedikit kecewa, karena pagi ini, aku tak bisa bertemu kak Vian, padahal aku ingin sekali bertemu dengannya walaupun hanya sebentar.
“yasudah, sebaiknya kamu berangkat sekolah nduk!” ucap budhe.
Akhirnya pagi ini aku berangkat ke sekolah sendirian, tanpa bareng sama kak Vian, biasanya aku dan kak Vian selalu berangkat bersama kalau mau ke sekolah. Tapi entahlah, kak Vian sekarang sudah benar benar berubah. Di rumah saja aku sudah jarang bertemu dengannya.
***

Sepulang dari sekolah, aku tak lekas pulang kerumah, akan tetapi aku memutuskan menuju ke kampusnya kak Vian, untuk menjemput kak Vian. Mungkin saja dengan aku jemput, kak Vian mau pulang bareng denganku, dan gak akan pulang malam untuk hari ini. Pikirku.
Sesampainya di depan kampus kak Vian. Aku menuju taman kampus, disana terlihat banyak mahasiswa mahasiswa yang sedang berkumpul. Aku langsung memarkirkan sepedaku dibawah pohon mangga , di taman itu. Semua mahasiswa melihat ke arahku, anak SMA kok bisa masuk ke sini ya? Mungkin mereka berfikir seperti itu. Tapi aku tak perduli, aku hanya memberikan senyumanku ke arah mahasiswa mahasiswa itu, sesekali mataku juga mencari cari dimana kak Vian. Hampir 1 jam aku berkeliling kampus, tapi aku tak juga menemukan kak Vian. Akhirnya aku memilih untuk beristirahat di bawah pohon mangga tempat sepedhaku aku parkirkan tadi.
“Huh capek sekali harus keliling kampus segede ini, hanya untuk mencri 1 orang” gerutuku sambil mengusapkan saputanganku ke dahiku yang penuh keringat.
“Dinkaaaa” tiba tiba aku mendengar ada yang memanggil namaku. Aku melihat kanan kiriku, memastikan tadi ada yang memanggilku. Tapi tak ku temui sumber suara itu.
“dinka, kamu ngapain di sini.” Tiba tiba ada seseorang didepanku.
“kak Vian…” aku langsung berdiri memeluk kak Vian. Aku memeluknya erat seperti orang yang tak pernag bertemu lama. Aneh memang.
“kak Vian, Dinka dari tadi cariin kaka Vian, akhirnya ketemu juga, yuk pulang kak, Dinka kangen sama kak Vian” ucapku sambil menarik tangan kak Vian untuk mengajak pulang.
“kakak masih ada jam kuliah Din, kamu pulang duluan aja,” tiba tba kak Vian memberhetikan langkahku
“ohh gitu ya.. tapi nanti kak Vian janji ya,kak Vian harus pulang awal.” Ucapku
kak Vian hanya tersenyum membalas pertanyaaanku yang terakhir.
Akhirnya aku lagi lagi pulang sendirian, tanpa kak Vian. Tapi tak apa, aku sedikit bahagia karena nanti kak Vian akn pulang lebih awal ke rumah.
***

Malam ini, Aku bahagia sekali, kak Vian telah menepati janjinya. Dia pulang lebih awal hari ini.
“kak, hari ini, kakak aku masakin masakan kesukaan kakak, cobain ya kak” ucapku sambil mengambilkan seentong nasi ke piring kaka Vian. Jarang banget ada suasana seperti ini di rumah, aku sangat sangat merindukan kak vian.
“makasih ya adikku.” Hanya itu yang di ucapkan kak Vian. Walaupun Cuma itu, aku tetap bahagia, karena malam ini kak Vian bisa menepati janjinya.
***

Sesudah makan kak Vian langsung bergegas untuk tidur. Aku tak bisa melarang dan tak bisa memaksanya tidak tidur, untuk menemaniku malam ini, karena aku tahu, kak Vian pasti sangat kecapekkan. Jadinya malam ini aku memutuskan untuk menonton TV saja di ruang tengah. Sebelum menyalakan TV, aku merasa hp ku bergetar. Aku mengambil hpku dari saku celana. Aku lalu membukanya, dan ternyata aku kaget, aku melihat di layar hpku tertulis peringatan hari ulang tahun kak Vian tgl 13 agustus. Aku lalu memastikan dengan melihat kalender di kamarku. Ternyata benar di kelender kamarku tlg 13 agustus aku lingkari dengan spidol merah menandakan kak Vian besok lusa ulang tahun.
Aku langsung lari menuju kamar budhe.
“budheeee.. budhe..” panggilku seperti orang yang kemalingan.
“Dinka, ada apa?” jawab budhe cemas
“budhe, budhe tauk gak, besok lusa, kak Vian ulang tahun” ucapku menjelaskan ke Budhe
“apa iya?” Tanya budhe
“iya budhe, sekarang kan tanggal 11, besok lusa tanggal 13 budhe, kak Vian ulang tahun” ucapku sambil menyodorkan hpku ke arah budhe.
“budhe besok bisa kan buatkan kue ulang tahun untuk kak Vian? Yah.. yah.. mau ya budhe” aku memohon mohon ke budhe
“iya nduk, budhe mau kok” budhe tersenyum ke arahku.
Wahh.. aku berharap kaka Vian suka dengan ini semua.
***

Paginya, seperti biasa kak Vian sudah harus berangkat ke kampusnya.
“kak Vian” panggilku sebelum kak Vian berangkat.
“iya Din?”
“kak Vian hati hati ya? Jangan pulang malam lagi.” Ucapku kea rah kak Vian
Kak Vian hanya tersenyum padaku dan langsung pergi dengan sepeda ninja hijaunya.
5 menit setelah kak Vian berangkat, aku dan budhe mulai sibuk membuatkan kue ulang tahun untuk kak Vian. Aku ingin membeir kejutan ke kak Vian.
Besok adalah hari ulang tahun kak Vian yang ke 19 tahun. Aku sangat senag sekali, semoga setelah umurnya bertambah besok, kak Vian bisa berubah menjadi baik lagi. Dan aku harap kak Vian senang dengan kejutan ini.
***

Malamnya, setelah selesai membuat kue ulang tahun, aku dan Budhe hanya tinggal menunggu kedatangan kak Vian.
“kok kak Vian jam segini belum pulang ya budhe?” ucaku sambil melihat jam tangan unguku yang sudah menunjjukkan pukul 10 malam.
“sabar nduk, sebentar lagi pasti kakakmu pulang” ucap budhe meyakinkanku.
“tapi..”
entah kenapa aku mulai resah, aku melihat jam sudah mulai dekat menuju pergantian hari esok. Berkali kali aku mencoba menghubungi hp kak Vian, tapi hp nya di nonaktifkan. sesekali aku keluar masuk rumah, untuk memastikan kak Vian sudah sampai. Tapi hasilnya nihil. Aku jadi semakin khawatir dengannya.
Akhirnya aku dan budhe masih tetap sabar menunggu.

Tak lama kemudian terdengar suara ketukan pintu dari luar.
“itu pasti kak Vian, biar Dinka saja budhe yang buka!” ucapku mengahalangi budhe yang mau membukaan pintunya. Lalu aku lari untuk membukakan pintu.
“kak Viannnnn” aku membuka pintu dan berteriak nama kak Vian di depan pintu. Tapi ternyata, itu bukan kak Vian. Yang berdiri di depanku adalah polisi. POLISI?
“emm.. maaf cari siapa ya pak?” tanyaku sedikit gugup.
“selamat malam dek, apa benar ini rumahnya Muahammad Vian?” tanya polisi itu menyebutkan nama lengkap kak Vian.
“iya benar pak, ada apa ya?” aku mulai panik.

Budhe yang tadinya ada di dalam rumah sekarang jadi ikut keluar.
“saya mau memberitahukan, bahwa saudara yang bernama Muhammad Vian, tadi sore mengalami kecelakaan sesama geng motornya. Mayatnya sekarang berada di rumah sakit, sedang diotopsi, dan keluarganya diharap segera menjemputnya.” Ucap polisi itu seolah melemaskan seluruh ragaku.
Aku tak kuasa membendung air mataku. polisi itu pasti bohong, kak Vian gak mungkin meninggal, aku menjerit tak karuan. Aku tak percaya ini terjadi, aku memberontak dari pelukan budhe. Aku harus segera bertemu kak Vian, untuk memastikan, polisi itu salah.

Tapi setelah aku melihat sesosok mayat tergeletak di ruang jenazah, tangisku mulai buyar lagi. Itu kak Vian, kak Vian yang sedang berlumuran darah, kak Vian yang sudah tak bernyawa lagi.
“kak Viannnnnnnnnn” jeritku.
Aku tak percaya, aku tak percaya ini. Apa yang harus aku lakukan? Kini aku hanyalah sebatang kara. Tak ada saudara, tak ada keluarga kandung. Aku sedih. Aku kecewa.

Setelah jenazah kak Vian di bawa pulang untuk di makamkan. Hanya air matalah yang dapat ku keluarkan, karena aku sudah tidak bisa berbicra apa apa lagi. Aku pun ikut mengantarkan ke pemakaman kak Vian pagi itu, aku duduk di samping makam kak Vian, begitu juga Budhe.
“sabar ya nduk, ini sudah ke putusan yang di atas” ucap budhe di sampingku sambil mengelus elus rambutku.
Aku hanya meneteskan air mata diatas makam kak Vian.
Sementara di tanganku masih ku bawa kue ulang tahun yang tadinya ingin aku buat kejutan untuk kak Vian, diatasnya masih ada lilin yang berbentuk angka 19 yang masih menyala.
“selamat ulang tahun ya kak Vian, semoga kak Vian di sana bahagia” tiba tiba aku mengucakan kata kata sambil terbatah batah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar